Oleh: Anas Fazri (Kepala KPPN Sinjai)
SAUDAGAR.NEWS, Opini – Saya sempat “menikmati” menginap 5 hari di RSUD Sinjai akibat terpapar Covid-19 pada akhir Desember 2020 lalu. Kalau saya bilang layanan RSUD Sinjai sudah sekelas RS Mount Elizabeth Singapura, pasti pembaca akan bilang itu isapan jempol semata.
Judul di atas sengaja saya pilih untuk memberi tantangan, bahwa layanan RS pemerintah bisa sekelas RS Mount Elizabeth Singapura bukanlah mimpi di siang bolong. Dengan status sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), sangat terbuka lebar bagi RSUD untuk memberikan layanan kelas premium.
Dalam Undang-undang Keuangan Negara, kita hanya mengenal lembaga pemerintah dalam bentuk Satuan Kerja pada Kementerian/Lembaga dan BUMN (kekayaan negara tidak dipisahkan dan dipisahkan). Dengan pola kelembagaan seperti itu, judul di atas hampir pasti tidak mungkin bisa terwujud.
Persoalan utama layanan pada RS Pemerintah (termasuk lembaga penyedia layanan dasar lainnya) di masa lalu adalah tidak adanya keleluasaan dalam mengelola keuangan.
Retribusi/tarif yang dibayar oleh pengguna layanan (pasien) tidak bisa langsung digunakan karena harus disetor seluruhnya ke kas negara. Sedangkan untuk menggunakan kembali dana yang disetor ke kas negara tersebut membutuhkan prosedur yang panjang dengan waktu hitungan bulan.
Ditambah lagi lembaga-lembaga itu dikelola oleh ASN dengan model layaknya sebuah Satuan Kerja umumnya yang berbeda jauh dengan lembaga korporasi dimana pengelolaannya mengedepankan pemikiran kreatif, produktif, dan efisien.
Fakta bahwa layanan dasar harus disediakan oleh negara dan bersifat non-profit, yang dihadapkan dengan keterbatasan dana APBN serta kebutuhan meningkatnya kualitas layanan telah memicu pemikiran kreatif di berbagai negara. Maka lahirlah sebuah pola baru pengelolaan keuangan pada institusi pemerintah yang dikenal dengan public autonomous agency.
Di Indonesia sendiri pada tahun tujuh puluhan sebenarnya telah lahir sebuah lembaga pemerintah dengan otonomi khusus seperti itu, yaitu Otorita Batam. Lembaga ini samasekali berbeda dengan Satuan Kerja K/L maupun BUMN.
Konsep baru penglelolaan keuangan instansi pemerintah ini kemudian diadopsi di Indonesia melalui regulasi Undang-Undang Perbendaharaan Negara dengan nama Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU).
Lembaga ini sejatinya masih sama dengan Satuan Kerja pada Kementerian/Lembaga umumnya, artinya tetap berada di bawah Kementerian/Lembaga namun dikelola secara korporasi dengan keleluasaan dalam pengelolaan keuangan dan personilnya. Oleh karena itu ada tambahan kata “Pengelolaan Keuangan” di depannya.
Dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara, BLU diatur di pasal paling akhir (Pasal 68 dan 69) sebelum Bab Penutup. Penempatan pasal ini bukan sekedar kebetulan, tetapi berdasarkan pemikiran bahwa pengaturan BLU merupakan eksepsi dari norma-norma umum pengelolaan keuangan negara di pasal-pasal sebelumnya.
Mari kita telusuri potensi RSUD untuk memberikan layanan yang murah tapi berkualitas premium berikut ini:
1. Tanah dan bangunan dibiayai dari APBN/APBD,
2. Gaji tenaga medis ASN dibayar dari APBN/APBD,
3. Alat kesehatan dibiayai dari APBN/APBD,
4. Biaya pemeliharaan dibiayai dari APBN/APBD,
5. Seluruh aset bisa dioptimalkan pemanfaatannya dan hasilnya jadi penerimaan, semua penerimaan bisa langsung digunakan.
Jika dibandingkan dengan RS swasta, mulai dari tanah dan bangunan sampai dengan operasional RS, semuanya dibiayai dari modal sendiri/pinjaman yang nantinya akan dibebankan pada pasien pengguna layanan.
Sehingga sangat masuk akal bila RSUD yang berstatus BLUD bisa memberi layanan lebih murah tapi sekelas RS swasta premium.
Semua aspek kelebihan RSUD berstatus BLUD di atas hanya sebatas potensi menghasilkan layanan murah dan unggul yang tidak akan pernah menjadi kenyataan jika tidak diimbangi dengan pengelolaan sesuai praktik bisnis yang sehat layaknya sebuah korporasi.
Praktik bisnis yang sehat hanya mungkin dilaksanakan bila RSUD berstatus BLUD dikelola oleh tenaga profesional (ASN dan Non ASN) dengan prinsip korporasi serta didukung oleh Dewan Pengawas (Dewas) yang menjalankan perannya dengan baik.
Oleh karena itu penting bagi seluruh Pemda dalam menetapakan Direksi RSUD berstatus BLUD, agar bukan sekedar mempertimbangkan kecakapan teknis ilmu kesehatan, tetapi juga kecakapan dalam mengelola praktik bisnis layaknya sebuah korporasi.
Presiden sudah memberi contoh ketika mengangkat Menteri Kesehatan yang tidak berasal dari latar belakang kedokteran sebagaimana lazimnya selama ini.
Melalui para profesional itu dapat menciptakan berbagai sumber penerimaan. Aset milik BLU harusnya dioptimalkan pemanfaatannya untuk mendukung peningkatan layanan kepada masyarakat.
Halaman RSUD bisa menhasilkan penerimaan dari parkir dan penyewaan ruang ATM, roof top bisa menghasilkan penerimaan dari penyewaan ruang kantin, peralatan medis, laboratorium, bahkan tenaga dokter bisa menghasilkan penerimaan melalui penyewaan atau Kerjasama Operasi dan Kerjasama Manajemen (KSO dan KSM), bahkan instalasi pengolah limbah medis juga berpotensi menghasilkan penerimaan.
Jadi, sungguh bukan sekedar mimpi untuk mewujudkan layanan RSUD yang murah tetapi premium.